Asal Hukum Dari Etika
Oleh : Eka Blegur
Akhir-akhir ini pemilu 2024 terus dihadirkan berbagai drama, mulai bagian koalisi yang saling tusuk-menusuk hingga putusan MK. Padahal menjadi seorang pemimpin negara itu tidak mudah, tetapi ada beberapa pihak ngotot untuk bisa mendapatkan kursi capres atau cawapres.
Ya tidak soal, jika memiliki kemampuan dan tanggung jawab untuk mengemban amanah. Kalau tidak memiliki, lebih baik mundur saja. Sebab ini bukan membicarakan keinginan pribadi saja, melainkan nasib seluruh rakyat Indonesia.
Jangan main-main soal kepemimpinan tertinggi, apalagi sampai melanggar hukum. Yah, memang keputusan MK sudah jelas tidak bisa diubah-ubah. Akan tetapi hasil dari putusan tersebut jelas melanggar kode etik berat. Meskipun sidang MKMK tidak membatalkan putusan, tetapi sudah memberikan pencerahan terkait kecacatan hukum.
Yah majunya Gibran tidak langgar keputusan MK. Tetapi perlu diingat bahwa hukum lahir dari etika yang melahirkan nilai baik buruk dan benar salah. Semua perilaku dinilai secara langsung dengan nilai-nilai itu yang berkembang di masyarakat. Entah mereka melanggar atau tidak, warga sudah bisa menilai sendiri.
Hukum di Indonesia sendiri masih belum sempurna. Entah UU tumpang tindih, UU ketinggalan zaman, maupun belum diatur. Meskipun aturan belum dibuat, akan tetapi nilai baik buruk dan benar salah tetap ada di masyarakat.
Ini bukan meremehkan Gibran ataupun anak muda, melainkan membicarakan kepantasan orang yang melanggar nilai-nilai di masyarakat apa patut menjadi pemimpin. Jika nilai di masyarakat saja dilanggar, apa tidak mungkin nasib rakyat akan dilindas. Silakan nilai sendiri.
Terlebih lagi gugatan usia capres/cawapres mendekati pemilu dan sidang dilakukan akhir pendaftaran. Bukan tidak mungkin, ini tanda untuk membungkam protes dari masyarakat atas pelanggaran yang terjadi. Apalagi dengan sudah maju begitu, kalau ada persoalan masih tetap maju.
Sudah banyak drama politik last minuets yang terjadi. Apa tidak mungkin ini di setting sedemikian rupa untuk bisa meloloskan Gibran. Ditambah banyak perkataan Wali Kota Solo, “kalau saya anak ingusan, kenapa takut dengan manuver saya.” Dari ungkapan ini saja sudah menandakan adanya upayanya untuk bermanuver.
Parahnya Gibran saat diwawancara wartawan bilangnya A, tetapi kelakuannya B. Sudah banyak ungkapan itu, mulai dari segi usia tidak sesuai, kemampuan masih kurang, pengalaman masih kurang, soal baju, soal tegak lurus, dan selainnya. Banyak sekali ungkapannya yang tidak konsisten, apalagi nanti menjadi pemimpin. Janji-janjinya mungkin hanya omong kosong.
Merasa aneh juga mendengar pidato Prabowo saat pengambilan nomor urut. Katanya kalau baik dan benar diakui, lha ini jelas cawapresnya melanggar nilai-nilai di masyarakat serta kemampuannya tidak mumpuni, kenapa digandeng?
Padahal masih banyak cawapres di koalisi Prabowo, berpengalaman dan berkemampuan. Apakah karena privilege anak presiden, mereka yang memiliki jam terbang lebih baik bisa dilanggar begitu saja. Kalau iya, gugatan usia capres/cawapres bukan untuk perjuangan anak muda, melainkan Gibran semata.
Apa yang diharapkan dari Gibran? Rasa malu dan bersalah sudah tidak ada lagi, sampai terus maju. Bahkan Baliho dirinya terpampang di depan kantor KPU. Apa ini menggunakan alat negara untuk pemenangan, tidak tahu juga.
Ingat kawan-kawan, pilihanmu menentukan nasibmu 5 tahun kedepan. Maka bijaklah memilih pemimpin yang berintegritas dan berpegang pada hukum-hukum yang berlaku. Bukan mengotak-atik hukum untuk kepentingan pribadi.